Inilah Menuju pendewasaan

Entah apa yang menciptakan saya hari ini menjadi orang yang kritis. Atau mungkin, sok kritis. Sebenernya, saya orang yang nggak suka mengkritisi sesuatu. Takut akan dosa yang berafiliasi dengan ghibah, meninggalkan segala hal berbentuk debat, sehingga lebih baik membisu dan pasif. Yang lama-kelamaan kepasifan itu berkembang menjadi tak peduli akan hal sekitar. Ingin rasanya mengomentari sesuatu dan saling beradu pendapat. Terbiasa untuk memendam sesuatu dan selalu membisu terkadang semua pandangan gres yang terngiang melebur dan hilang. Intinya, hari ini saya mempunyai sebuah topik yang seru untuk dibahas. Sebelum semua pandangan gres ini melebur dan hilang. 

Saat ini saya sedang melihat suatu problem kecil. Bukan hanya melihat sih, lebih tepatnya menjadi episode dari problem kecil itu. Hanya problem sepele, namun tergantung orang yang terlibat itu menyikapinya.

Masalah ini mengenai pemisahan siswa di kelas saya yang di campur dengan kelas lain namun pencampurannya tak merata sehingga banyak warga kelas saya ataupun warga kelas tetangga tak terima. Oke, mungkin sebab sudah satu tahun mereka bersama. Tiap kelas mempunyai ciri masing-masing. Anggap saja kelas A terbilang kelas yang alim, dan kelas B ialah anak yang gaul. Warga dari kelas B yang dipindah ke kelas A tak terima dengan kelas barunya, sehingga ia ingin pindah, begitu juga sebaliknya.

Saya pun juga mencicipi hal yang sama. Yang saya pikirkan ialah apa yang akan terjadi untuk satu tahun kedepan? Apakah semangat berguru saya semakin meningkat atau sebaliknya? Apakah saya tetap menjadi anak yang takut akan suatu dosa sehingga tak akan melakukannya atau menghalalkan segala cara?

Awalnya saya pikir....yasudahlah. Mungkin dengan bertukarnya warga-warga ini, Tuhan mempunyai suatu planning yang baik. Ilmu yang saya dapatkan di kelas A, mungkin saja sanggup saya tularkan kepada kelas B. Atau ilmu dari kelas B juga sanggup ditularkan kepada kelas A. Dan mungkin saja, kelas A sanggup membuatkan ilmunya kepada warga B. Seems like studi banding, kami saling mendapatkan dan menularkan ilmu masing-masing.

Saya pikir rasa segan ini akan hilang dengan sendirinya. Seiring berjalannya waktu mungkin. Anggap saja ini sebuah pembelajaran atau tantangan untuk beradaptasi. Bahkan mungkin Tuhan sudah merencanakan sesuatu yang lebih indah. Kami sanggup mempunyai banyak teman, saling bertukar pikiran dan sebagainya.

Salah satu warga dari tiap-tiap kelas masih ada yang tak terima dengan kenyataan yang menyerupai ini. Begitu juga teman-teman saya. Jalan satu-satunya ialah mendatangkan orangtua ke sekolah dan berhadapan dengan kepala sekolah. Oke, berdasarkan saya ini problem besar. Sudah banyak masalah yang saya lalui dan itu melibatkan orangtua. Rasanya menyerupai anak kurang didik dan nggak tau diri. Selalu merepotkan orangtua. Menurut saya sih ini memalukan. Mendatangkan orangtua untuk melaporkan bahwa anaknya tak betah untuk tinggal di kelas gres dan ingin pindah. Sangat kekanak-kanakan.

Saya malas untuk meminta menyerupai itu kepada orangtua saya. Karena desakan sahabat saya yang ingin pindah, hasilnya saya bercerita kepada ibunda saya. Setelah itu, saya bercerita kepada ayah. Ayah saya malah resah jika nantinya ditanya kepala sekolah mengenai mengapa harus pindah kelas, nanti ayah akan jawab apa? Kalau saya sih memang tak begitu problem dengan kelas baru. Akhirnya saya beranikan diri untuk sengaja tak meminta ayah tiba ke sekolah.

Ya berdasarkan saya sih itu hal yang memalukan. Udah 17 taun meeen! Udah kelas 12 pula, menghadapi problem menyerupai ini saja mengapa harus melibatkan orangtua? Oke nggak masalah, kalaupun nanti ditanya teman-teman mengapa ayah saya tak sanggup datang, maka saya akan menjawab, “Ayahku sibuk, soalnya lagi kerja.” Saya nggak bohong kok, memang dia lagi sibuk untuk bekerja. Jadi, saya nggak salah kan jika tidak mendatangkan orangtua?

Hanya saya dan kedua sahabat saya yang tak membawa orangtua. Dan kami pasrah. Let it flow. Ketika para orangtua keluar dari ruang kepala sekolah. Beliau menggeleng-gelengkan kepala. Itu artinya failed atau gagal. Saya tau sebab hal itu memang nggak mungkin. Teman-teman yang lain meluapkan rasa kekecewaannya dengan berkeluh kesah kepada orangtua masing-masing. Sungguh mereka ialah anak yang sangat beruntung. Masih mempunyai orangtua yang bersedia mendengarkan keluh kesah, menuruti seruan anaknya sampai merelakan membolos bekerja demi membela anaknya dalam hal sepele. Namun yang sangat disayangkan, keberuntungan mereka menciptakan mereka tak membuka pikiran lebar-lebar. Itulah yang dibutuhkan, sebuah pendewasaan diri. I think so.

Ikut murung saat sahabat sekelas saya juga bersedih dan kecewa atas hasil yang sudah di dapat. “Rencana Tuhan niscaya lebih indah dari yang kalian kira. Percaya deh, Tuhan punya sesuatu yang indah.” Dan saya cuman bilang gitu kemudian mengajak mereka kembali ke kelas. Agak nggak ngefek sih, raut muka mereka masih murung dan nggak nerima apa adanya. Yah..paling nggak, semoga sanggup ngayemin hati mereka. Lalu, salah satu wakil kepala sekolah masuk dan memberi pengarahan dan menyadarkan kami semua. “Ingat tujuan awal kalian bersekolah disini. Tujuan kalian disini kan menuntut ilmu untuk menjadi anak yang sukses. Orang sahabat kau jaraknya hanya dibatasi oleh tembok. Kalau kau kangen yaudah tinggal nyebrang. Bagaimana jadinya jika nanti kalian sudah menjadi mahasiswa? Tinggal di kos, jauh dari orangtua? Maka dari itu, kami melaksanakan hal menyerupai ini supaya tak hanya mengajarkan kalian ilmu akademik, namun juga adaptasi.” Ya menyerupai itulah pesan beliau. Semoga teman-teman saya tertohok dan memotivasi kami untuk lebih semangat dalam menuntut ilmu.

Masih ingat saat saya mempunyai kesempatan untuk menentukan kelas di kelas XI. Saya menentukan kelas, dimana tak ada satupun yang dekat dengan saya. Ya ada sih yang kenal, hanya sekedar kenal. Rasanya asing, terlebih saya merupakan salah satu panitia suatu program yang selama 3 hari tidak berada di kelas. Canggung, kikuk, resah duduk dengan siapa, sok join bareng dengan sahabat lain, sok ngikutin alur cerita, pokoknya serba sok bersahabat gitu. Alhasil, ya memang ada sahabat saya yang tak begitu suka dengan saya. Karena menurutnya, saya terlihat sedikit galak atau judes apabila terlihat dari raut wajah. Dan dia sempat berfikir bahwa dia merasa terganggu sebab saya sekelas dengannya. Seiring berjalannya waktu, ternyata dugaannya itu salah. Kaprikornus kesimpulannya, jangan asal nge-judge seseorang jika hanya melihat dari covernya saja sebelum lihat isi atau sifatnya. Dan buktinya? Kelas yang berdasarkan saya gila di awal sanggup kompak. Endingnya menyedihkan tapi ngangenin. Intinya, kelas XI saya tetep keren.

Roda kehidupan niscaya berputar. Saya tau, roda kali ini lagi berada di bawah. Percaya aja jika roda yang akan dibawah, nantinya juga niscaya akan ke atas. Semua kehendak Tuhan memang tak ada yang tau. And I believe that Tuhan have beautiful moments for us. Salam kelas 12! \m/

Sumber https://nurmalitarh.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Eid Mubarak

kacamata bulat 2 lensa

kacamata hitam untuk wajah bulat berjilbab